PENDEKATAN ECOREGION DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH BERKAWASAN PESISIR

Edwarsyah

e-mail : edwarsyah_mp@yahoo.com

Abstrak

Indonesia – sebagai negara kepulauan – mempunyai panjang pantai yang mencapai 81.000 km, merupakan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hampir seluruh Propinsi yang  ada di Indonesia memiliki wilayah yang terdiri dari kawasan hulu dan kawasan pesisir. Kedua kawasan tersebut dihubungkan oleh suatu aliran sungai yang dikenal dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Akan tetapi, antara kawasan hulu – yang diketahui sebagai  tempat awal suplai air – sampai ke kawasan pesisir dapat berada pada wilayah propinsi yang lain. Selama ini dalam kegiatan penataan ruang, batasan perencanaan wilayah menggunakan batasan administratif.  Sehingga penataan ruang dilakukan tanpa memperhatikan hubungan dengan wilayah administratif lainnya yang juga dilalui oleh suatu aliran sungai yang sama. Akibatnya terjadi kerusakan di kawasan pesisir yang tercermin dari kerusakan habitat, pencemaran, eksploitasi berlebih sumberdaya hayati laut serta konflik penggunaan ruang yang sebagian besar penyebabnya berasal dari darat sehingga mencapai 80% (UNEP,1990;Nam,1987)

Makalah ini – yang mendasarkan pada penggunaan Simulasi Model Dinamik – mencoba membuktikan pentingnya suatu penataan ruang wilayah berkawasan pesisir yang berbasis pada batasan ekosistem (dikenal dengan Ecoregion). Pada berbagai skenario model disimulasikan penataan ruang wilayah berdasarkan pendekatan pembangunan sejak skenario berdasarkan kondisi saat ini ( status quo dengan pendekatan batasan administratif ) sampai dengan scenario yang berdasarkan pada pendekatan pembangunan berkelanjutan ( dengan pendekatan Ecoregion ). Diperoleh hasil bahwa suatu upaya pengelolaan kawasan pesisir perlu dikaitkan dengan komponen wilayah yang lebih luas yang diduga memberikan dampak yang signifikan terhadap kawasan pesisir yaitu suatu DAS melalui penataan ruang terpadu. Selanjutnya diketahui pula faktor –faktor berpengaruh yang perlu dipertimbangkan dalam suatu konsep penataan ruang wilayah berkawasan pesisir dengan pendekatan Ecoregion.

I   PENDAHULUAN

Indonesia – sebagai negara kepulauan – memiliki kawasan pesisir yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu sepanjang 81.000 km (Tomascik, 1997). Dapat dikatakan hampir setiap propinsi di Indonesia memiliki kawasan pesisir yang merupakan akses keluar atau masuk, sehingga berfungsi sebagai sarana penghubung antar pulau dan antar wilayah. Kawasan pesisir sesungguhnya memiliki fungsi dan peran ekonomi maupun ekologi yang sangat penting, sehingga terjadinya gangguan atau kerusakan di kawasan pesisir dapat mengganggu aktivitas dan keberlanjutan pembangunan (Dahuri, 1996 ; Adibroto, 1994 : 11).

Terjadinya kerusakan ekologis kawasan pesisir saat ini disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui aliran sungai pada suatu Daerah Aliran Sungai (selanjutnya ditulis : DAS). DAS merupakan daerah yang menghubungkan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir (UNEP, 1990; Norrena & Wells, 1990 ; Nam, 1987). Fenomena tersebut disebabkan oleh pola pembangunan di masa lalu yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial. Pertimbangan pada faktor lingkungan dan sosial merupakan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma Pembangunan Berkelanjutan.

Sebagai konsekuensi dari negara kepulauan, kawasan pesisir di Indonesia berkembang menjadi kawasan dengan pertumbuhan yang cukup pesat, mengingat kawasan pesisir dapat menyediakan ruang dengan aksesibilitas tinggi dan relatif murah dibandingkan dengan ruang daratan di atasnya (Bengen, 1999). Oleh karena itu, pesisir menjadi tempat tujuan pergerakan penduduk. Hampir 60% jumlah penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makasar menyebar ke daerah pesisir (Adibroto, 1999 : 125 ; Dahuri, 1996 ; Burbridge, 1988). Dalam kaitan dengan kemudahan akses dan hubungan antar pulau dan antar wilayah itulah sebagian besar kota-kota di Indonesia berada di kawasan pesisir. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembangunan di Indonesia yang selanjutnya dijabarkan dalam bentuk perencanaan wilayah. Oleh karena itu, perencanaan di Indonesia tidak dapat begitu saja mengadopsi perencanaan wilayah yang berbasis daratan, karena komponen perencanaan di Indonesia tidak hanya mencakup daratan saja tetapi juga mencakup wilayah yang membatasinya, yaitu kawasan pesisir, laut dan daerah aliran sungai.

Selama ini teori-teori perencanaan yang ada lahir dari para ahli yang berasal dari negara-negara benua, sehingga teori-teori yang digunakan sangat berorientasi pada kepentingan benua (daratan). Dengan demikian, diduga belum ada  teori perencanaan yang secara eksplisit menempatkan  secara khusus wilayah pesisir (Kay dan Alder, 1999:63) dan lebih khusus lagi DAS serta kepulauan dalam konteks perencanaan wilayah. Padahal, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah pesisir dan lautan yang selain merupakan medium interaksi antar wilayah juga berfungsi sebagai suatu sumber daya wilayah (Widiarto, 2000:3). Dapat dikatakan bahwa unsur pesisir dan DAS tidak dapat dipisahkan dalam konteks perencanaan wilayah secara keseluruhan dimana kawasan pesisir dan DAS juga merupakan bagian wilayah yang  berperan penting dan strategis, baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun ekologi.

Dengan demikian, kegiatan pengelolaan kawasan pesisir tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan permintaan akan sumber daya air, produksi bahan makanan dari lahan beririgasi, pemakaian bahan kimia(pupuk, pestisida) dan semakin banyaknya jumlah penduduk di kawasan pesisir mensyaratkan adanya pendekatan pembangunan yang terpadu sejak hulu hingga hilir suatu DAS. Permasalahannya adalah kurangnya pemahaman tentang adanya keterkaitan biofisik dan sosial ekonomi antara wilayah hulu dan hilir DAS, sehingga menjadi kendala dalam upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lingkungan yang semakin meningkat di kawasan pesisir dan laut. Hal tersebut menunjukkan semakin pentingnya diberlakukan pergeseran paradigma pembangunan dari yang semula sektoral atau fragmentatif menjadi holistik atau integratif (Asdak dan Abdullah, 2000 : 21).

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Costanza (2000) dan Asdak & Abdullah (2000), bahwa untuk memecahkan persoalan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir, perlu dipertimbangkan suatu konsep pembangunan dengan tata ruang sebagai dasar pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan semua aspek yang berkaitan dengan keberadaan DAS, termasuk perubahan guna lahan di sepanjang DAS sejak hulu sampai dengan kawasan pesisir. Hal tersebut dikaitkan dengan fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan ke arah pendekatan ekosistem atau lebih dikenal sebagai konsep pembangunan berkelanjutan. Untuk suatu wilayah yang memiliki DAS (sebagai suatu wilayah ekologis) digunakan pendekatan DAS (watershed-based management) yang mengintegrasikan berbagai skala kegiatan, disiplin maupun sektor pembangunan. Dalam tahap perencanaan tata ruangnya pendekatan tersebut dikenal sebagai penataan ruang wilayah ekologis (ecoregion). Perencanaan tata ruang wilayah ekologis suatu DAS hendaknya menggunakan batasan wilayah perencanaan berupa keseluruhan wilayah ekologis DAS (bukan batasan administratif) yang akan mengintegrasikan aspek daratan di hulu (upland), pesisir dan laut secara simultan (land-sea interactions).

Tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah merumuskan suatu konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu (pendekatan ecoregion) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.  Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang akan dicapai adalah:

  1. Identifikasi faktor dan elemen yang mempengaruhi penataan ruang wilayah ekologis suatu DAS terpadu (pendekatan ecoregion) yang sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan.
  2. Suatu konsep pendekatan Ecoregion dalam penataan ruang wilayah berkawasan pesisir.

II  METODE

Upaya mencari tujuan dan sasaran pada makalah ini, disadari merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks karena – seperti biasanya pada permasalahan lingkungan – perlu untuk memperhatikan keterkaitan antar berbagai komponen yang terlibat. Maka pendekatan pemecahan masalah yang digunakan disesuaikan dengan sifat permasalahan yang bersifat kompleks dan multi skala tersebut dengan menggunakan Model Sistem Dinamik. Dalam kajian ini fenomena yang teliti merupakan hubungan sebab-akibat yang bersifat timbal balik dan dinamis dari suatu kegiatan pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka mencapai tujuannya dan berlangsung di atas suatu ekosistem, untuk kemudian diamati dampaknya terhadap keberlangsungan kemampuan dan fungsi ekosistem itu sendiri dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain model ini dimaksudkan untuk mengamati kegiatan sektor pembangunan dominan yang meliputi kegiatan permukiman, pertanian dan industri di sepanjang DAS (dipilih lokasi Way Sekampung – di Propinsi Lampung) di sekitar kawasan hulu sampai dengan hilir (sebagai penyebab) dan total dampaknya terhadap kawasan pesisir (sebagai akibat). Diambil sebanyak 15 titik sampel di sepanjang sungai Way Sekampung dan 6 titik sampel di perairan laut muara Way Sekampung. Pengambilan data di 15 titik sampel tersebut bertujuan untuk mengetahui kualitas air sungai berdasarkan parameter pencemaran dan sedimentasi yang meliputi kadar BOD, COD, sianida dan TSS (total suspended solid). Selanjutnya, disimulasikan beberapa skenario yang merupakan representasi dari intervensi kebijakan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sebab-akibat kegiatan manusia dengan lingkungan sekitarnya serta interaksi sebab-akibat perubahan tata guna lahan terhadap pendapatan penduduk di berbagai sektor. Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penataan ruang wilayah yang berkelanjutan.

Gambar II.1 Interaksi Kegiatan Manusia dan Dampaknya

Terhadap Kualitas Lingkungan

Ada enam skenario akan dikembangkan dalam simulasi sebagai berikut :

  1. Skenario 1: skenario yang sesuai dengan data historis yang ada dan terjadi saat ini, atau biasa disebut kondisi status quo. Pada skenario  ini, pembangunan belum diintervensi dengan kebijakan apapun. Laju pertumbuhan penggunaan lahan (berdasarkan data sekunder) adalah permukiman 70 %, pertanian 20 %, industri 1 %, dan penghijauan 0%.

  1. Skenario 2: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan pertanian melalui peningkatan laju pertumbuhan lahan  pertanian menjadi 25 % disertai dengan peningkatan kegiatan industri secara moderat menjadi 5%. Pendekatan pembangunan adalah pendekatan sektoral untuk semata kepentingan pertumbuhan ekonomi.
  2. Skenario 3: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan industri melalui peningkatan laju pertumbuhan lahan industri yang mencapai 20%, yang disertai dengan menurunnya kegiatan pertanian menjadi 10%. Pendekatan pembangunan dilakukan sektoral untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi.
  3. Skenario 4: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan penghijauan melalui peningkatan laju pertumbuhan penghijauan menjadi 50%, dan pertanian menjadi 30%. Pendekatan pembangunan dilakukan secara sektoral untuk kepentingan ekologis.
  4. Skenario 5: skenario kebijakan menggunakan pendekatan keterpaduan pembangunan, dimana kegiatan permukiman ditingkatkan melalui laju pertumbuhan lahan permukiman menjadi 85%, kegiatan pertanian diturunkan menjadi 15%, industri tetap pada keadaan status quo, dan kegiatan penghijauan meningkat menjadi 25%. Skenario ini merupakan upaya menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan kepentingan ekologi, tanpa persyaratan minimal luas lahan alami.

  1. 6. Skenario 6: skenario kebijakan menggunakan pendekatan keterpaduan pembangunan dengan komposisi perubahan konversi lahan seperti pada skenario 5. Hal penting yang membedakan dengan skenario 5 adalah adanya persyaratan bahwa konversi lahan terhadap lahan alami hanya boleh dilaksanakan jika luas lahan alami telah mencapai 30 % dari luas wilayah DAS. Skenario ini merupakan upaya menerapkan alokasi ruang untuk kepentingan daya dukung lingkungan yaitu terjaganya 30 % luas lahan alami.

Gambar II.2 Diagram Hubungan Sebab Akibat (Causal Loop Diagram)

Model Secara Global

III  HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Simulasi dan analisis dilakukan atas enam skenario untuk mendapatkan faktor dan elemen yang berpengaruh dalam penataan ruang wilayah berdasarkan variabel penyebab (konversi lahan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembangunan) dan variabel akibat (dampak yang terlihat pada kualitas air, dan pendapatan penduduk).

Untuk mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, baku mutu air menjadi standard perbandingan bagi masing-masing zat pencemar (BOD, COD, CN dan TSS) pada ke 6 skenario.

Terlihat bahwa kondisi zat pencemar (BOD, COD, CN, dan TSS) berada diatas standard baku mutu air pada skenario 1-5, kecuali untuk skenario 6 yang berada dibawah baku mutu (kecuali untuk zat pencemar COD yang tetap berada dibawah baku mutu). Dari dampak yang terjadi terhadap kualitas air, maka skenario 6 merupakan skenario yang terbaik.

Kondisi Konsentrasi Pencemar Pada 6 Skenario Terhadap B. Mutu Air

Kondisi Nilai Pendapatan Penduduk pada 6 Skenario

Selain kajian pada dampak fisik pada kualitas air sungai, juga dilakukan kajian pada dampak yang terjadi pada kondisi sosial ekonomi penduduk melalui nilai pendapatan. Jika melihat dari sisi pendapatan penduduk, maka justru skenario 6 merupakan yang terendah. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan trade-off antara kondisi kualitas lingkungan (air sungai) dengan pendapatan penduduk yang berarti suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut dengan kondisi kualitas lingkungan yang tetap terpelihara pada suatu masyarakat yang berkeadilan, maka skenario 6 merupakan skenario terbaik.

Skenario Perubahan Pendapatan Total (Rp/orang/tahun)
Skenario 1 21280
Skenario 2 19750
Skenario 3 18850
Skenario 4 140840
Skenario 5 120820
Skenario 6 18370

Untuk menghitung trade-off , dilakukan pembobotan sebagai berikut :

Nilai Kualitas Lingkungan Nilai Pendapatan
Bobot

2:1

Skenario
Skenario 1 4,25 4 12,5
Skenario 2 2,25 3 7,5
Skenario 3 1,75 2 5,5
Skenario 4 3,375 6 12,75
Skenario 5 3,375 5 11,75
Skenario 6 6 1 13

Pembobotan dilakukan dengan memperhitungkan internalisasi aspek lingkungan. Nilai tesebut memperlihatkan bahwa nilai suatu produk harus memperhitungkan nilai sumberdaya alam yang dimanfaatkan terhadap pendapatan. Oleh karena itu, perbandingan bobot nilai kualitas lingkungan terhadap nilai pendapatan diasumsikan 2 : 1.

Berkaitan dengan sasaran penelitian 1, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor berpengaruh yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pendekatan ecoregion.

Pertama, Faktor Ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor penyebab) dan direpresentasikan melalui kebutuhan konversi lahan (permukiman, pertanian dan industri) yang meliputi :

  1. Jenis penggunaan lahan; berupa alokasi ruang bagi pemenuhan kebutuhan sektor-sektor pembangunan (permukiman, pertanian dan industri) yang selalu berubah terhadap waktu. Setiap jenis penggunaan lahan tersebut harus dihitung dengan cermat karena berpengaruh terhadap perubahan kadar pencemar baik pada badan sungai maupun di pesisir. Peningkatan setiap sektor pembangunan akan mengakibatkan jenis pencemaran dan kecepatan perubahan yang berbeda, misalnya sektor pertanian meningkatkan kadar BOD.
  2. Intensitas penggunaan lahan ; seberapa besar intensifnya pemanfaatan ruang bagi suatu sektor pembangunan akan berpengaruh terhadap perubahan kualitas lingkungan akibat terjadinya limbah

Kedua, Faktor Ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berlangsung diatasnya, yang dihubungkan dengan dampak yang terjadi (faktor akibat), meliputi:

  1. Kemampuan badan sungai; berfungsi mengencerkan konsentrasi zat-zat pencemar secara alamiah maupun sebagai tempat suplai air. Kemampuan tersebut dapat terpelihara melalui terjaminnya debit sungai dan kualitas air yang baik.
  2. Kemampuan ekosistem pesisir; berfungsi mengolah dan mereduksi zat-zat pencemar yang diterima baik berasal dari kawasan pesisir  maupun dari kawasan hulunya.

Ketiga, Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal 30 % dari suatu wilayah merupakan lahan alami, sebelum dapat dilakukan konversi lahan untuk kepentingan sektor-sektor pembangunan. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan daya dukung lingkungan.

Keempat, Faktor Pendekatan Keterpaduan, sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan maka konsep penataan ruang wilayah harus memperhatikan a) integrasi ekosistem darat dengan laut, b) keterpaduan antar sektor pembangunan, c) keterpaduan vertikal (skala lokal, regional dan nasional), serta d) integrasi sains dan manajemen.

Kelima, Faktor Pendapatan Penduduk, dari hasil simulasi diketahui bahwa setiap skenario pembangunan akan berdampak pada perubahan pendapatan di berbagai sektor. Hendaknya diupayakan pada setiap peningkatan pendapatan penduduk, maka kualitas lingkungan tetap terjaga dalam suatu masyarakat yang berkeadilan. Trade-off pada simulasi diperoleh pada skenario 6.

Berkaitan dengan sasaran penelitian 2, dapat disimpulkan bahwa Konsep Pendekatan Ecoregion harus berisikan upaya mengintegrasikan empat komponen penting yang merupakan satu kesatuan meliputi a) Batasan wilayah perencanaan : natural domain (bukan batasan administratif) ; b) Kawasan pesisir sebagai dasar penataan kawasan di hulunya ; c) Pendekatan Keterpaduan meliputi integrasi ekosistem darat-maritim, integrasi perencanaan sektoral, integrasi perencanaan vertikal dan integrasi sains dengan manajemen; dan d) Alokasi ruang proporsional, dimana 30% dari wilayah perencanaan merupakan lahan alami.

Dengan demikian Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus berintikan empat komponen penting yang merupakan suatu kesatuan (bukan urutan prioritas), yaitu:

  1. a. Batasan Wilayah Perencanaan : natural domain

Batasan perencanaan berdasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami (natural domain) – dalam penelitian ini : DAS – dan bukan pada batasan administratif.

  1. b. Kawasan pesisir sebagai dasar penataan ruang kawasan di hulunya

Kawasan pesisir selalu menerima dampak baik dari kegiatan di kawasan hulu maupun di kawasan pesisir sendiri, disamping mempunyai fungsi ekologis tersendiri yang penting dan perlu dijaga kelestarian fungsi-fungsinya. Untuk itu, bagi suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS yang terpadu, pertimbangan terhadap keterkaitan fungsional antar kawasan (hulu dan hilir) dan keunikan karakteristik kawasan pesisir dikaitkan dengan fungsi ekologisnya merupakan aspek penting untuk tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, dalam suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS, kawasan pesisir harus menjadi dasar penataan ruang di kawasan hulunya.

c. Pendekatan Keterpaduan ; maka dalam Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

–          Integrasi Ekosistem Terestrial (darat) dengan Maritim (laut) (land-ocean interaction)

–   Integrasi perencanaan sektoral (antar sektor-sektor pembangunan)

–   Integrasi perencanaan secara vertikal (lokal, regional, nasional)

–   Integrasi Sains dan Manajemen (perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan akademis        sebagai input Kebijakan)

d. Alokasi ruang yang proporsional ; dihubungkan dengan fungsi kapasitas asimilasi lingkungan dan Daya Dukung Lingkungan. Pada Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan secara cermat fungsi kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan melalui keserasian pola pemanfaatan ruang antara a) kawasan budidaya, b) kawasan penyangga, dan c) kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah preservasi yang harus dialokasikan dalam suatu wilayah perencanaan minimal mencapai 30 % berupa lahan alami atau hutan (dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau hutan wisata) untuk tercapainya keseimbangan antara wilayah terbangun dengan wilayah alami. Sehingga alokasi ruang dalam kegiatan penataan ruang tidak hanya menata berbagai kegiatan pembangunan secara spasial yang dikaitkan dengan kesesuaian lahan saja, tapi juga memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan agar dampak negatif dapat dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

3.2 Kesimpulan

Karena pendekatan Ecoregion dalam suatu kegiatan perencanaan wilayah ini merupakan suatu pendekatan baru yang disesuaikan dengan kaidah pembangunan berkelanjutan, maka kesimpulan dibagi dalam empat bagian.

  1. Teori perencanaan selalu mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Secara singkat, teori perencanaan konvensional yang berorientasi pada tujuan peningkatan kesejahteraan ekonomi mengalami pergeseran yang mengacu pada paradigma baru pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan esensi pembangunan berkelanjutan yang pada dasarnya menginternalisasikan aspek lingkungan ke dalam perencanaan kegiatan pembangunan, maka – sebagai salah satu tools pelaksanaan pembangunan – dikembangkan Pendekatan Perencanaan Wilayah Berkelanjutan yang diwujudkan dengan Konsep Pendekatan Ecoregion. Salah satu ciri utama Pendekatan ini adalah batasan perencanaannya disesuaikan dengan batasan ekologis yang mengikuti kesamaan karakteristik alamiah (natural phenomenon, dan tidak lagi mengikuti batasan administratif) atau biasa disebut dengan ecoregion.

2.   Hasil Kajian tentang DAS dan Karakteristik Khusus Kawasan Pesisir

  1. Setiap bagian suatu DAS mempunyai fungsi dan karakteristik tertentu.
    1. Adanya hubungan erat antara perubahan tata guna lahan di sepanjang sungai terhadap perubahan kualitas air sungai dalam bentuk pencemaran dan sedimentasi.

Konsep perencanaan kawasan pesisir yang sejak dekade yang lalu banyak dikembangkan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang memandang kawasan pesisir sebagai suatu kawasan yang memiliki fungsi dan keunikan karakteristik tertentu. Telah diketahui pula kawasan pesisir dan daratan di atasnya (kawasan hulu) mempunyai hubungan yang erat berdasarkan proses hidrologis darat-laut melalui aliran sungai yang bermuara ke pesisir. Dalam rangka perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir, perlu pendekatan keterpaduan perencanaan dengan kawasan di hulunya agar kegiatan manusia di kawasan hulu tidak berdampak negatif terhadap kawasan pesisir  dalam bentuk Konsep Pendekatan Ecoregion.

  1. Melalui studi ini juga diketahui bahwa pendekatan keterpaduan pembangunan yang merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan berkelanjutan ternyata tidak cukup untuk dapat mempertahankan fungsi dan kemampuan lingkungan – yang dibuktikan pada skenario 5 – dengan masih tingginya angka pencemaran (berada diatas baku mutu lingkungan). Prasyarat  keberhasilan pembangunan berkelanjutan perlu dilengkapi dengan prasyarat dipenuhinya alokasi ruang proporsional khususnya untuk kawasan lahan alami sebesar 30 % dari luas wilayah perencanaan. Hal tersebut dibuktikan pada skenario 6, sehingga pada skenario tersebut kualitas lingkungan tetap terjaga dengan baik sedangkan tujuan kegiatan-kegiatan pembangunan dapat tercapai melalui pendekatan keterpaduan. Juga terungkap perlunya dipertimbangkan penggunaan bantuan teknologi dalam mengolah limbah an-organik (yang  tidak dapat terurai secara alamiah).
  2. Pendekatan Ecoregion harus dapat mengintegrasikan kajian-kajian biologis untuk mengetahui kemampuan ekologis suatu wilayah dalam menerima dan mengolah limbah. Untuk itu diperlukan integrasi ilmu pengetahuan (sains) dalam hal pengelolaan lingkungan untuk memperkaya pemahaman akan karakteristik suatu jenis ekosistem menjadi suatu hal penting. Dalam konteks tersebut dapat dipahami bahwa batasan perencanaan wilayah perlu dirubah dari batas administratif menjadi batas natural domain. Khusus untuk suatu batas perencanaan wilayah DAS, akibat sifat aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir sehingga kawasan pesisir selalu menerima dampak dari hulu dan pentingnya fungsi ekonomi dan ekologi kawasan tersebut, maka kawasan pesisir hendaknya menjadi dasar bagi penataan ruang kawasan di hulunya.

IV  DAFTAR PUSTAKA

A.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Penataan Ruang Wilayah

  1. Adibroto, T.A., 1994a : Managing the Indonesia Marine and Coastal Environment : The Role of Monitoring Activities ; Proceeding no. 979 – 8465 – 07 – 5 pada Workshop on Technology Application on Marine Environmental Monitoring, Forecasting and Information System : Institutional Framework and Project Benefits, 17 November 1994, Jakarta, Indonesia.
  2. Dahuri R dan Ginting S.P., 2000 : Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ; makalah pada Linggarjati Environmental Meeting, 9-13 November 2000.
  3. UNEP, 1995 : Meeting of Government – designated Experts to Review and Revice a Global Program of Action to Protect the Marine Environment from Land-based Activities, Reykjavik, 6-10 Maret 1995 (UNEP/ICL/IG/1/2).
  4. Widiarto, 2000 : Perencanaan Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Lautan Dalam Kesatuan Tata Ruang Regional ; makalah disampaikan pada Temu Pakar “Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Ruang, Ditjen P3K, DKP, Jakarta 10 Oktober 2000.

A.2 Berkaitan dengan Pengembangan Daerah Aliran Sungai

  1. Asdak C., 2001 : Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Waduk dan Danau ; Journal Ekologi dan Pembangunan 5, 5-17 ; Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan LP-UNPAD, Bandung.

A.3 Berkaitan dengan Pengembangan Kawasan Pesisir

  1. Adibroto, T.A., 1999 : The Role of Seawatch Indonesia in Supporting Policy for The Coastal Management in Indonesia ; Proceeding in International Seminar on Application of Seawatch Indonesia Information System for Indonesia Marine Resources Development, March 10 – 11, 1999, Jakarta, Indonesia (ISBN 979 – 8465 – 19 – 9)
  2. Burbridge, D.R (Eds), 1998 : Coastal Zone Management is the Strait of Malacca, Proceedings of Symposium on Environmental Research and Coastal Zone Management is the Strait of Malacca in 1995, Medan, Indonesia.
  3. Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P. (Eds),  1996 : Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu ; PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Indonesia.
  4. Kay, R dan Alder, J., 1999 : Coastal Planning and Management, E & FN SPON, London dan New York.

10.  Ministry of State for Environment, 1995 : ADB Report : Coastal Environment Management Planning, Vol. 1, Indonesia.

11.  UNEP, 1990 : GESAMP, The State of the Marine Environment. UNEP Regional Seas Report  115, 111 pp, UN Environmental Program, Nairobi.

A.4. Metodologi Pemecahan Masalah

12.  Costanza R (Eds), 1991 : Ecological Economics ; The Science and Management of Sustainability, Columbia University Press, New York, USA.

  1. Forrester J.W, 1961 : Industrial Dynamics, Productivity Press, Oregon, USA.

Makalah lengkap dapat di akses di : http://rudyct.com/PPS702-ipb/04212/edwarsyah.htm

Pos ini dipublikasikan di Makalah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar